Fanfic yang dibuat
dalam rangka latihan menjadi lebih baik. Sambil nonton video Aku no Otouto dan
terinspirasi darinya. Selain di sini, saya juga nge-post cerita ini di acc FFn saya. Kirana Agi Qiao. Cek yaa~
No need any words, let start the story!
Aku no Otouto
.
Brother of Evil
Angin berhembus pelan, melewati kedua sosok blonde yang tengah berhadapan satu sama
lain. Salah satu di antara mereka yang jauh lebih tinggi menundukkan kepalanya,
menatap sepasang kelereng azure
dengan sepasang kristal emerald-nya.
Sorot terkejut menghiasi tatapannya. Dibukanya sedikit mulutnya, memberi gestur
seolah ia ingin mengatakan sesuatu.
Anak kecil di depannya, yang bermata biru cemerlang, balas
menatapnya dengan rasa keingintahuan. Sungguh, kedua pasang mata itu sangatlah
cemerlang. Dengan sinar yang memancarkan kepolosan dan kenaifan di dalamnya.
Suci, tanpa noda.
“Um... Aku Arthur. Arthur Kirkland. Personifikasi United
Kingdom of Great Britain and Northern Ireland—tapi untuk singkatnya England
saja sudah cukup.” kata pemuda bermata emerald,
akhirnya membuka suaranya. Suaranya terdengar lembut, membuai telinga sang anak
yang lebih kecil.
Anak itu tersenyum, “Alfred.
Alfred F Jones. America.” katanya
dengan nada ceria.
Mulai saat itu, England-lah yang
menjaga America, sepenuhnya. Bertanggungjawab atas segala hal yang terjadi pada
pemuda itu. Sementara America, dia menjadi adik yang paling manis bagi England.
Itu sudah
pasti, dan tetap akan terus begitu.
.
.
.
.
“Tapi, England—”
“Maafkan aku, America. Tapi aku harus pergi.” England
tersenyum sedih sambil mengacak-acak rambut pirang kotor America.
America langsung memeluk England, menumpahkan air matanya di
baju merah sang pirate tersebut.
“Tapi.... Tapi.... Aku tidak mau kau meninggalkanku, England...” isaknya. Dia
meremas baju England, seolah berkata kalau dia tidak akan pernah melepaskan
pemuda itu.
England tersenyum makin sedih, “Tenang saja, America. Aku
pasti akan kembali untukmu. Jadi, jangan menangis, oke? Nanti akan kubelikan
oleh-oleh.” bujuk England lembut.
America memukul England pelan, “Memangnya kau pergi untuk
berjalan-jalan? Kau pergi untuk bertarung... Aku tidak mau kau kalah dan
akhirnya kesepian...” katanya, masih sambil menangis.
England tertawa kecil mendengar perkataan adiknya itu. “Aku
tidak takut dengan itu. Meski seluruh dunia membuatku kesepian, kau pasti akan
ada di sisiku dan bersamaku, kan?” tanya England. Senyum sedihnya berganti
menjadi senyum simpul.
America menunduk, melonggarkan cengkeramannya pada baju
England yang sudah basah terkena air matanya. “Tentu.” bisiknya lirih.
“Aku akan tetap mencintaimu dan berada di sisimu. Jadi... Tetaplah
tersenyum seperti itu.”
“Aku, kan, hero. Aku pasti akan melindungi England. Meski itu artinya aku
harus menjadi iblis...” kata America. Dia melepaskan cengeramannya dan mundur
selangkah.
England tertawa, “Baiklah,
tolong lindungi aku ya, hero? Tapi
jangan menjadi iblis. Iblis itu jahat sekali.” katanya sambil mengelus kepala
America sebelum berbalik dan berjalan pergi.
.
.
America terduduk di atas ranjangnya. Dia memeluk lututnya,
membenamkan wajahnya di cekungan yang terbentuk antara lututnya dan dadanya.
Berdoa semoga England yang terkasih selamat di pertempuran.
Sekilas, ingatannya mengenai England menguap ke permukaan.
Saat dia berjalan di
sebuah tempat yang tidak dia kenali, di sana dia berjumpa dengan seseorang.
Seseorang yang nantinya amat penting dalam hidupnya. Seseorang bermata hijau
menawan yang mengulurkan tangannya padanya.
Di saat itu, dia sudah
tahu. Dia sudah tahu kalau sepasang emerald itu sudah membuatnya terpikat. Dia
mencintai senyum lembut itu, sebagaimana dia mencintai pemilik senyum itu. Dia
tidak ingin terpisah darinya.
Apapun yang terjadi.
“England....”
Setetes air mata jatuh ke
permukaan ranjangnya. Disusul beberapa tetes lain yang muncul di tengah
tangisan tanpa suara.
.
.
America menatap tajam ke arah kertas yang disodorkan tepat
ke hadapannya, “.... Apa ini?” tanyanya dengan suara datar, namun tetap tidak
bisa menyembunyikan nada dingin di dalamnya.
Di depannya, England, memberi tatapan datar. Tidak seperti
tatapan penuh kasih sayang seperti biasa. “Kau tahu kondisiku sekarang setelah
berperang dengan si kodok itu. Aku butuh uang untuk uang.” kata Arthur datar.
“APA KAU BERCANDA?! INI MAHAL SEKALI!”
“AMERICA!” England menggebrak mejanya sebelum menatap
America dengan tatapan sedih. Oh, tidak. Tatapan itu. Tatapan yang membuat
America menjadi luluh sepenuhnya.
“Maafkan aku. Aku tidak punya pilihan lain.”
America menggigit bibirnya, memberikan sebuah senyum paksa
yang terlihat pahit. “Baiklah, aku mengerti. Aku akan membayarnya.” katanya
menyerah.
England balas menatap lega, kembali dengan senyum lembutnya.
“Terima kasih, America. Aku menyayangimu.” katanya.
America mengangguk sebelum
berbalik pergi. Dia berjalan ke arah pintu. Dengan sepasang mata biru yang
mengalirkan air mata.
.
.
Kau adalah kakakku.
Dan aku adalah adikmu.
Kita adalah dua orang
gila yang terpisah karena jabatan.
Suatu hari kau muncul
dari balik pintuku. Senyum lebar terlukis di bibirmu. Tanganmu terangkat, menunjukkan
sebuah tas kertas kecil berwarna merah. Aku heran apa itu?
“Aku membawakanmu
oleh-oleh black tea.” katamu ceria.
Aku hanya bisa tersenyum melihat senyummu yang tidak pernah sepolos dan
seceria itu.
.
.
America menghela nafas berat. Belakangan ini makin banyak
warganya yang mengeluh mengenai pajak yang diberikan England. Sebenarnya dia
sendiri merasa kesal dengan hal itu, namun bagaimana pun England lebih
membutuhkan uang itu dibanding dirinya.
Hingga saat dimana
rakyatnya sudah tidak tahan lagi dan berteriak padanya, menyuruhnya untuk
melakukan perlawanan terhadap England. Mereka menyebutnya sebagai kemerdekaan.
Dan America tidak bisa membantah itu. Dia mencintai England,
tapi rakyatnya lebih penting. Dipakainya baju biru itu dengan penuh rasa
bangga. Celana putih panjang sudah menghiasi kedua kakinya. Siap untuk terjun
ke arena pertempuran.
Hanya tinggal senjata. Dia
memilikinya. Namun pasti akan berat untuk memakainya.
.
.
“Ini, kupinjamkan
senapanku. Gunakan itu untuk berperang suatu hari nanti.”
Jemari panjang nan
halus itu mengelus kepalanya setelah menyodorkan senapan itu padanya. Senyum
manis itu lagi-lagi muncul, membuatnya terpana.
“Tidak perlu khawatir,
kau anak yang kuat. Aku yakin tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkanmu.”
Diraihnya senapan itu, menepis
segala ingatan yang muncul di benaknya. Berjalan sambil mengangkat dagunya.
Bersiap menyongsong masa depan yang merdeka. Meski hal itu akan melukai
hatinya, juga hati orang yang dicintainya.
.
.
Dan itu terjadi. Kemenangannya.
America menunduk, menatap lurus ke arah England yang jatuh
terduduk di depannya sambil menutupi wajahnya, menangis karena harus kehilangan
America. Menangis karena harus kehilangan semua waktu dan kenangan yang dia
lewati bersama America.
Posisi mereka kini sudah tertukar. America bisa saja meraih
senapannya kembali dan menembak England, tapi hatinya sudah cukup tertoreh
melihat pemuda yang sudah membesarkannya kini terduduk sembari menangis.
Jika kau mengalirkan
air mata karenaku,
Maka aku juga akan mengalirkan air mata karenamu.
.
.
Di suatu waktu yang sudah lama berlalu, di seberang lautan,
pernah ada sebuah kerajaan besar yang amat terkenal karena kejayaannya. Nama
kerajaan itu adalah Great Britain. England, sebagai orang yang berada di puncak
kekuasaannya.
Dan dia adalah....
Senyum lembut penuh kasih sayang itu kembali menghiasi
benaknya. Membuatnya kembali mengeluarkan air mata untuk kesekian kalinya
semenjak hari berhujan itu.
“Waktu kita untuk berpisah, England.”
Meski semua orang di
dunia,
“Aku sudah merdeka sekarang.”
membuatmu merasa
kesepian.
America berbalik, berjalan pergi. Meninggalkan England yang
menatapnya penuh emosi, meski tatapannya buram karena air mata.
Karena aku
mencintaimu,
England tidak menyadari kalau seluruh orang di situ langsung
membuang senapan mereka, dan pergi menyusul America. Dia juga tidak menyadari
kalau America ikut meneteskan air mata.
Jadi, tolonglah tetap tersenyum di tempat lain, di waktu lain.
“ALFRED!”
Kedua orang itu menangisi rasa
perih di hati mereka karena takdir yang kejam.
.
.
Kau Arthur.
Dan aku Alfred.
Kita ini dua orang
yang terpisah karena takdir.
Jika itu untuk
mencintaimu,
maka aku rela menjadi musuhmu.
.
.
“....—ngun! America, you
git, BANGUN!”
America langsung membuka kedua matanya, kaget. Hal yang
pertama sepasang mata sapphire-nya lihat
adalah....sepasang emerald yang
menatapnya kesal, meski terbersit sedikit sorot khawatir. Makin lama,
pandangannya makin jelas. Sosok di depannya, England, tengah menatapnya sebal.
“Break time hampir
habis dan kau ketiduran di sini. Padahal kau susah sekali dibangunkan.” gerutu
Englandd sebelum mendengus, “Tapi sudahlah. Yang penting sekarang kau suah
bangun. Cepat bersiap untuk melanjutkan rapat.” kata England sebelum berjalan
ke arah kursinya.
America terdiam sejenak mengingat mimpinya. Sebersit rasa
bersalah mampir di hatinya. Sebelum England sempat duduk di kursinya, America
meraih lengan baju England, “E-England!” panggil America.
England menoleh ke arahnya, dengan tatapan heran sekaligus kesal,
“Apa, git?” tanyanya ketus.
“Um....” America terdiam sejenak, memikirkan hal apa yang
harus dia katakan. Namun sedetik kemudian dia tersenyum lebar, “Maafkan aku,
ya?” pintanya.
England terkejut sebentar sebelum berbalik, menghadap ke
arah America. “Iya, iya. Asalkan lain kali kau tidak tertidur lagi.
Menyebalkan, tahu, untuk membangunka—”
“Bukan itu, maksudku.” potong America.
“Hah?”
“Maafkan aku....” gumam America lirih.
England mengerjapkan matanya sekali, dua kali, sebelum
akhirnya paham apa maksud America. Semburat merah menjalar di pipinya, meski
tidak sebanyak semburat yang muncul di wajah America saat ini. Namun dia
akhirnya bisa mengeluarkan hal yang sudah lama tidak dia tunjukkan di depan
semua orang.
“Tentu saja aku memaafkanmu, git.”
America, sekali lagi, terpana melihat senyum lembut itu.
End
Iya, saya tau ini ga-je. Untuk video-nya, http: / / www .youtube.
com/watch?v=BNRiXJpwACc dan jangan lupa pisahkan spasi.
Review?